Pandemi corona? Yang ku rasakan Kuliah Empati
KELEMBUTAN HATI
Selamat sahur teman-teman,
Lagi-lagi, aku mau izin ngasih intro ya teman-teman,
Kali ini tentang bagaimana Ramadhan ini dimulai,
Ya! tentu berbeda, terutama untuk yang kotanya zona merah.
Tarawih pertama TERPAKSA #dirumahaja,
Kuliah subuh TERPAKSA #diyoutubeaja,
Pesantren kilat TERPAKSA ga pesantren dan ga kilat (#apasi)
Ngabuburit juga TERPAKSA #viaonlineaja.
Dan mungkin hal-hal lainnya yang biasanya kita lakukan dengan sukacita di tengah keramaian 'Marhaban' bareng keluarga, tetangga, atau teman terdekat kita.
Tapi ya kalau kita coba pikirkan kembali,
Sekian banyak hal yang telah ku sebutkan sebelumnya itu,
Rasanya tidak ada satu pun yang secara gamblang Allah/RasulNya sebutkan mengurangi keistimewaan Bulan Ramadhan.
Sebagian besar, malah hal-hal yang kita kira berbeda itu adalah hasil dari hanya rasa kebutuhan sosial kita, keinginan memeriahkan, atau bahkan hanya sebatas upaya mengejar eksistensi di hadapan sesama kita.
Padahal bisa jadi, esensi Ramadhan ini seharusnya adalah kita dapat semakin bermesraan dengan Rabb kita, ya! hanya diri kita dan Allah semata.
Allah cemburu karena di Ramadhan² sebelumnya Ia telah kita bersandingkan (naudzubillahi min dzalik) dengan ragam "hegemoni memeriahkan" Ramadhan yang telah ada.
Rasa-rasanya tak ada salahnya bagi kita berprasangka pada diri kita demikian,
Tak ada lain agar rasa ini senantiasa mengingatkan kita bahwa Ramadhan kali ini, masih seistimewa Ramadhan sebelumnya, bahkan mungkin lebih istimewa.
So, Ganbatte ber-Ramadhan ria teman-teman :)
Okee sekian intronya gaess...
Balik ke judul "Kelembutan hati"
______________________________________
Jika di intro aku sebutkan "Ramadhan yang tak ada beda" karena ini berkenaan dengan keistimewaan bulan, limpahan berkah atas ketakwaan kita sebagai individu.
Lain halnya bagi saudara kita disana (atau mungkin tetangga kita) yang seringkali Ramadhan ini sebagai momentum luar biasa mengais rezeki.
Sebut saja para pekerja industri, mulai dari makanan, pakaian, parcel, para tukang parkir di alun-alun, pedagang di pasar, PKL, bahkan para pemulung pun meringis menghadapi paceklik ekonomi sekarang ini.
Apa yang mereka jajakkan tidak laku karena tak ada kerumunan orang ngabuburit, orderan semakin sepi karena konsumen pun memilih jaga-jaga menyimpan uang mereka. Tak sedikit dari mereka yang 'dirumahkan' dari tempat mereka kerja, sisanya hanya dapat gigit jari, sambil tetap berharap rezeki yang mereka ais "setidaknya cukup buat buka kala maghrib menghampiri".
Bahkan bagi para pemulung, volume sampah pun menurun drastis di jalanan, ditambah lagi para pengepul pun tak sanggup menghargai sampah yang sudah dikumpulkan karena krisis yang sama dialaminya.
Untuk kasus ini, aku coba ambil kasus di jantung Kota Bandung (alun-alun dan sekitarnya), kebanyakan para pemulung disana juga merupakan tunawisma (ada yang karena tak sanggup membayar kontrakan, ada pula yang pulang tiga hari sekali).
Secara kebetulan, aku berkesempatan mengikuti kegiatan kerelawanan dalam naungan Yayasan Sosial Senyum Indonesia, diantara kegiatannya adalah Street Food for Humanity dan Mudikorona. Kita membagikan makanan (nasi bungkus) setiap malamnya, sekaligus mengedukasi mereka akan bahayanya wabah ini berikut menawari mereka untuk difasilitasi pulang kampung di akhir timeline kegiatan Mudikorona.
Kala itu, selama empat malam berturut-turut, kami menyusuri Jl. AsiaAfrika, Jl. Banceuy, Jl. Otista, Jl. Cibadak dan sekitarnya. Dari sekian banyaknya tunawisma yang kita temui, amat disayangkan meskipun tetap perlu disyukuri, hanya sejumlah 7 orang dewasa dan 2 balita tunawisma saja yang berhasil kami bantu pemulangannya.
Sedih rasanya, bukan karena sedikit yang dipulangkan, namun karena masih banyaknya tunawisma ini yang terpaksa bertahan di jalanan Kota Bandung yang kian tidak aman ini.
Teriris hati setiap kali kami berbicara dengan mereka, menawari mereka untuk pulang dan diam di kampungnya, tapi jawaban mereka hampir semua sama:
"Dek, nanti dipulangkan saja? Apakah dikasih bantuan logistik makanan juga buat kita bisa bertahan di kampung?"
"Dek, biarlah kita di jalanan saja, perkara mati sudah Allah yang atur. Kita pulang pun, belum tentu kita bisa hidup kalau tidak ada pekerjaan"
Bukannya tak mau, tapi tak mampu. Ketidakmampuan kami membantu lebih saat itulah yang membuat kami lebih sedih.
______________________________
Ramadhan yang kurasakan bahkan sangat istimewa, lebih-lebih dari sebelumnya. Pandemi ini mengajarkanku lebih nyata akan apa itu Empati.
Empati, menangis di kala ini setelah aku diberitahu temanku, dia berikan aku kata kunci: KELEMBUTAN HATI.
Lembutnya hati, rupanya merupakan salahsatu ciri orang yang beriman.
Ia menangis karena shalatnya belum cukup khusyu', sedangkan ia tak tau ibadah yang lainnya yang ia lakukan apakah telah cukup menghantarkannya ke ridhonya Allah atau tidak.
Ia menangis...
Ia menangis karena interaksinya dengan Al-Qur'an terpaksa terpotong oleh rentetan tugas akademik yang ia tunda kerjakan sebelumnya, padahal ini adalah bulan Ramadhan, belum tentu tahun depan atau besok dipertemukan lagi.
Ia menangis...
Ia menangis karena belum cukup kaya harta, sedangkan saudaranya satu agama sedang membutuhkan bantuannya, padahal Allah akan lebih suka jika ia dapat berbagi.
Ia menangis...
Kelembutan hati, ialah tingakatan empati teratas,
Tak hanya menyelaraskan ucapan/perasaan kita dengan apa yang orang lain rasakan,
Namun juga berusaha membantu dalam tindakan,
Didasari pengharapan bahwa ketika kita membantu ini bertambah pula lah Allah mencintai kita.
Yuk, lebih resapi dan maknai lagi Ramadhan kali ini, menjadi lebih joss!!!
Apa yang mereka jajakkan tidak laku karena tak ada kerumunan orang ngabuburit, orderan semakin sepi karena konsumen pun memilih jaga-jaga menyimpan uang mereka. Tak sedikit dari mereka yang 'dirumahkan' dari tempat mereka kerja, sisanya hanya dapat gigit jari, sambil tetap berharap rezeki yang mereka ais "setidaknya cukup buat buka kala maghrib menghampiri".
Bahkan bagi para pemulung, volume sampah pun menurun drastis di jalanan, ditambah lagi para pengepul pun tak sanggup menghargai sampah yang sudah dikumpulkan karena krisis yang sama dialaminya.
Untuk kasus ini, aku coba ambil kasus di jantung Kota Bandung (alun-alun dan sekitarnya), kebanyakan para pemulung disana juga merupakan tunawisma (ada yang karena tak sanggup membayar kontrakan, ada pula yang pulang tiga hari sekali).
Secara kebetulan, aku berkesempatan mengikuti kegiatan kerelawanan dalam naungan Yayasan Sosial Senyum Indonesia, diantara kegiatannya adalah Street Food for Humanity dan Mudikorona. Kita membagikan makanan (nasi bungkus) setiap malamnya, sekaligus mengedukasi mereka akan bahayanya wabah ini berikut menawari mereka untuk difasilitasi pulang kampung di akhir timeline kegiatan Mudikorona.
Kala itu, selama empat malam berturut-turut, kami menyusuri Jl. AsiaAfrika, Jl. Banceuy, Jl. Otista, Jl. Cibadak dan sekitarnya. Dari sekian banyaknya tunawisma yang kita temui, amat disayangkan meskipun tetap perlu disyukuri, hanya sejumlah 7 orang dewasa dan 2 balita tunawisma saja yang berhasil kami bantu pemulangannya.
Sedih rasanya, bukan karena sedikit yang dipulangkan, namun karena masih banyaknya tunawisma ini yang terpaksa bertahan di jalanan Kota Bandung yang kian tidak aman ini.
Teriris hati setiap kali kami berbicara dengan mereka, menawari mereka untuk pulang dan diam di kampungnya, tapi jawaban mereka hampir semua sama:
"Dek, nanti dipulangkan saja? Apakah dikasih bantuan logistik makanan juga buat kita bisa bertahan di kampung?"
"Dek, biarlah kita di jalanan saja, perkara mati sudah Allah yang atur. Kita pulang pun, belum tentu kita bisa hidup kalau tidak ada pekerjaan"
Bukannya tak mau, tapi tak mampu. Ketidakmampuan kami membantu lebih saat itulah yang membuat kami lebih sedih.
______________________________
Ramadhan yang kurasakan bahkan sangat istimewa, lebih-lebih dari sebelumnya. Pandemi ini mengajarkanku lebih nyata akan apa itu Empati.
Empati, menangis di kala ini setelah aku diberitahu temanku, dia berikan aku kata kunci: KELEMBUTAN HATI.
Lembutnya hati, rupanya merupakan salahsatu ciri orang yang beriman.
Ia menangis karena shalatnya belum cukup khusyu', sedangkan ia tak tau ibadah yang lainnya yang ia lakukan apakah telah cukup menghantarkannya ke ridhonya Allah atau tidak.
Ia menangis...
Ia menangis karena interaksinya dengan Al-Qur'an terpaksa terpotong oleh rentetan tugas akademik yang ia tunda kerjakan sebelumnya, padahal ini adalah bulan Ramadhan, belum tentu tahun depan atau besok dipertemukan lagi.
Ia menangis...
Ia menangis karena belum cukup kaya harta, sedangkan saudaranya satu agama sedang membutuhkan bantuannya, padahal Allah akan lebih suka jika ia dapat berbagi.
Ia menangis...
Kelembutan hati, ialah tingakatan empati teratas,
Tak hanya menyelaraskan ucapan/perasaan kita dengan apa yang orang lain rasakan,
Namun juga berusaha membantu dalam tindakan,
Didasari pengharapan bahwa ketika kita membantu ini bertambah pula lah Allah mencintai kita.
Yuk, lebih resapi dan maknai lagi Ramadhan kali ini, menjadi lebih joss!!!

Komentar
Posting Komentar